Melihat kembali Sejarah Ka'bah

Makkah (Kemenag) --- Masuk Masjidil Haram sering memunculkan perasaan tersendiri, bisa takjub atau terpukau, meski sudah berulang kali. Untaian doa melihat Kakbah terus dilantunkan,

Allahumma zid haadzal bayta tasyriifan wa ta'zhiiman wa takriiman wa mahaabatan, wa zid man syarrafahu wa karramahu min man hajjahu aw i'tamarahu tasyriifan wa takriiman wa ta'zhiiman wa birran.

"Ya Allah, tambahkan kemuliaan, keagungan, kehormatan, dan kehebatan pada Baitullah ini. Tambahkan juga kemuliaan, kehormatan, keagungan, dan kebaikan untuk orang-orang berhaji atau berumroh yang memuliakan dan menghormati Ka'bah."

"Baitullah Ka'bah, di mata batin keimanan umat Islam, tercipta lebih awal dari segala arah dan penjuru dunia tak terbatas," kata Aswadi Syuhadak, guru besar Universitas Islam Sunan Ampel, Surabaya, Rabu (5/6/2024)

"Kebesaran dan kemewahan jarum jam dinding terbesar sekalipun tertutup oleh tanda kebesaran Baitullah Ka'bah. Puncak tanda kebesarannya ada pada jarum jam mata hati yang hanya terarah pada Sang Pengatur Alam Semesta. Mata batin adalah jarum jam Baitullah, bergerak, berputar, berdzikir, bertasbih, terpancar, terangkat, terpusat dan tertuju pada Sang Pencipta," ungkapnya.

Kisah Pembangunan Ka'bah dijelaskan dalam Al-Quran, surat Imran Ayat 96. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia, ialah (Baitullah) yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam."

Ka'bah ditinggikan (bangunannya) oleh Nabi Ibrahim dan dibantu oleh anaknya yaitu Nabi Ismail. Hal tersebut tertulis dalam kitab suci Al-Quran pada surat Al Baqarah ayat 127. Setelah itu, Allah SWT memberi perintah agar menjadikan bangunan tersebut tempat suci umat Islam. Ka'bah kemudian menjadi tempat salat, tawaf, dan itikaf.

Dalam perjalanannya, Ka'bah mengalami empat kali perbaikan dengan renovasi terakhir dilakukan di masa Dinasti Umayyah. Saat itu kepemimpinan dipegang Malik bin Marwan yang memperbaiki Ka'bah setelah mendapat laporan Al-Hajjaj.

Ketika Hajjaj bin Yusuf Al Thaqafi beserta bala tentara Damaskus memasuki Masjidil Haram, November 692 M, dia terkejut menyaksikan Ka'bah hasil renovasi Abdullah bin Zubair. Ka'bah dengan dua pintu setinggi 11 hasta (1 hasta=40 cm), menghadap ke timur dan barat. Konstruksi seperti karya Nabi Ibrahim. Area Hatim di Hijr Ismail dimasukkan dalam Ka'bah.

Ada modifikasi tambahan seperti jendela kecil dekat atap Ka'bah untuk memungkinkan cahaya masuk. Memindah pintu Ka'bah di atas tanah yang datar dan menambahkan pintu kedua. Tinggi Ka'bah yang bertambah sembilan hasta, sehingga dua puluh hasta tingginya. Dinding lebar dua hasta. Jumlah pilar menjadi tiga, bukan enam seperti yang sebelumnya dibangun kaum Quraisy.

Hajjaj menulis surat ke Khalifah Abdul Malik bin Marwan, menceritakan semua kondisi Ka'bah, dan meminta izin untuk mengembalikannya seperti yang dibangun kaum Quraisy. Abdul Malik membalas surat itu dan memerintahkan dia untuk mengembalikan Ka'bah ke bentuk sebelumnya.

Hajjaj menghancurkan apa yang telah ditambahkkan Abdullah bin Zubair. Dia mengembalikan Ka'bah ke bentuk semula seperti apa yang dibangun orang-orang Quraisy. Dia menutup pintu barat. Batu yang tidak dipakai kembali, digunakan menutupi lantai Ka'bah, sehingga permukaan lantai naik dari permukaan tanah. Akibatnya, pintu yang oleh Abdullah bin Zubair disejajarkan dengan tanah naik 5 hasta dari permukaan tanah. Ketinggian pintu juga berkurang lima hasta.

Dia menghilangkan tangga kayu yang dipasang Abdullah bin Zubair di dalam Ka'bah. Ketika Abdul Malik bin Marwan datang untuk umrah, dia mendengar hadis bahwa apa yang dilakukan Abdullah bin Zubair adalah keinginan Nabi SAW, maka dia menyesali perbuatannya. "Demi Allah, aku ingin membiarkan apa yang dilakukan Abdullah bin Zubair," sesalnya.

Pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al Rasyid (786-803), sang khalifah berniat mengembalikan Ka'bah ke bentuk yang dicita-citakan Nabi SAW. Diapun berkonsultasi dengan Imam Malik. "Atas nama Allah aku serukan padamu, jangan kamu jadikan Baitullah sebagai mainan para raja. Jangan sampai salah seorang dari mereka berniat mengubahnya, kemudian hilang dari hati umatnya." Khalifah Harun Al Rasyid mematuhi nasehat itu, dan mengurungkan niatnya untuk mengembalikan kontruksi Abdullah bin Zubair.

Ketika Sultan Ottoman, Sulaiman Khan naik tahta pada tahun 960 H, dia mengubah atap Ka'bah. Sultan Ahmad Khan yang berkuasa pada 1021 H membuat beberapa perbaikan dan perubahan. Hingga datanglah banjir besar, Rabu, 19 Sya'ban 1039 H. Saat itu seharian kota suci Makkah diguyur hujan. Sangat lebat dan konon yang terhebat dalam sejarah lembah suci Ibrahim. Rumah-rumah rusak dan dalam sehari sudah melayang seribu jiwa.

Ketinggian air mencapai tujuh meter, dan hampir menggapai lampu-lampu di dinding Ka’bah. Esoknya, dinding yang bersebelahan dengan Hijr Ismail runtuh, sementara dinding sebelah barat dan timur hanya separoh yang utuh. Beruntung, barang-barang berharga di Baitullah itu bisa diselamatkan, antara lain 20 buah teko emas, salah satunya bertakhtakan permata.

Pada 29 Sya’ban, Amir Makkah Syarif Mas’ud bin Idris segera memugar Ka'bah tanpa menanti perintah Istambul. Namun, sesuai prosedur dia tetap mengirim ke Khalifah Murad Khan. Untuk pendanaan awal, kaum Muslimin diserukan untuk menyumbangkan harta yang halal. Proyek darurat itu selesai dalam waktu sebulan, dengan menambal dinding Ka'bah dengan papan, sebagai antisipasi musim haji yang sudah dekat.

Khalifah Murad Khan menunjuk Muhammad Affandi bin Muhammad Al-Anqarawi, hakim di Madinah, untuk mewakili khalifah mengetuai pembangunan kembali Baitullah. Agar pekerja dan orang-orang yang bertawaf tidak terganggu, dibuatlah dinding kayu di sekeliling Ka’bah.

Tiga hari rehab Ka’bah baru berjalan, Syarif Mas’ud meninggal. Ia digantikan Syarif Abdullah bin Numa’i. Seminggu kemudian, hujan lebat kembali mengguyur, dinding yang tersisa runtuh lagi. Diputuskan untuk membangun fondasi yang sama sekali baru. Dasar-dasar bangunan Abdullah bin Zubair, dan direvisi Hajjaj diruntuhkan seluruhnya, kecuali bagian yang melindungi Hajar Aswad. Ka’bah sekarang, itulah yang dibangun Sultan Murad Khan. Perbaikan setelah itu tidak mendasar.

Pada masa Raja Saud, Ka'bah kembali direnovasi. Atap yang keropos dimakan air diganti. Pada saat itu, 28 Rajab, 1377, seorang sejarawan menghitung total batu Ka'bah, mendapatkan jumlah 1.614. Batu-batu ini dari berbagai bentuk. Batu terbesar panjang 190 centimeter, lebar setengah meter, dan tebal 28 centimeter. Batu terkecil adalah panjang setengah meter, dan lebar sekitar 40 centimeter. Tetapi, itu hanya batu yang berada di dinding luar, batu yang tidak terlihat tidak dihitung.

Sebuah rekonstruksi utama dari Ka'bah berlangsung antara bulan Mei 1996 dan Oktober 1996. Ini merupakan renovasi besar 400 tahun sejak Sultan Murad Khan. Selama rekonstruksi ini, yang asli satu-satunya dari Ka'bah adalah batu. Semua material lainnya diganti, termasuk langit-langit, dan atap dan kayunya.

Ka'bah dengan pesonanya yang selalu berhasil mengetuk relung hati terdalam setiap umat Islam, menghasilkan tetesan-tetesan air mata keharuan dan bentuk pengaduan yang hanya mampu dipahami oleh masing-masing hati yang memiliki kelembutan penghambaan kepada Ilahi Rabbi.

Widyawan Sigitmanto
Widyawan Sigitmanto Admin Simkah Web Id sejak dibuat sampai sekarang ;)
Sawer Admin via : Saweria