Menuju Transformasi 2.0? Tanggapan atas Tulisan Hasanuddin Ali "UIN: Beyond Islamic University"

Tulisan Hasanuddin Ali di web pribadinya yang berjudul "UIN: Beyond Islamic University" sangat menggelitik. Hasanuddin Ali atau singkatnya Gus Hasan, membentangkan secara kritis persoalan terkini yang dihadapi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), terutama Universitas Islam Negeri (UIN) dalam upaya untuk memoles eksistensi dan jati dirinya saat berhadapan dengan tantangan globalisasi pendidikan.

Kalau boleh menyimpul dari awal, kritik yang disampaikan oleh Gus Hasan, bahwa transformasi yang dilakukan oleh PTKIN yang menelorkan UIN adalah proyek yang belum tuntas. Transformasi dari IAIN ke UIN menurutnya bukan sesuatu yang final. UIN sendiri dalam kacamata Gus Hasan menyimpan Pekerjaan Rumah (PR) yang besar bila ingin tampil kompetitif di ruang yang lebih terbuka.

Dalam pandangan Gus Hasan, PR UIN adalah tantangan pergerakan ke langit yang lebih tinggi dari simbol Islamnya. Selain itu, kaburnya kekhasan keilmuan yang sepatutnya menjadi daya jual. Dan yang lebih penting adalah terpasungnya gerak UIN pada jangkauan lokal semata.

Dari tiga catatan konstruktif Gus Hasan ini, saya mencoba "nimbrung" yang mungkin bisa menjadi alat "pengacau" bagi diskursus pengembangan kelembagaan yang berfungsi mencetak kelompok masyarakat yang sering dilabeli sebagai sarjana muslim atau lebih kerennya, intelektual Muslim.

Universalitas UIN

Ide untuk memperkuat "daya jual" UIN dengan cara menghilangkan label "Islam"nya bukan wacana baru. Sejak transformasi menjadi universitas, sudah mulai muncul suara untuk membawa UIN di bawah naungan Kementerian Pendidikan. Suara ini tentu berkonsekuensi terhadap "core business" UIN sebagai universitas Islam. Meskipun suara ini bukan tanpa kritik, bahwa paling tidak kalau menjadi PT di Kementerian sendiri seperti saat ini, UIN jauh lebih terhormat, dan nuansa otoritatas keilmuan yang dibinanya tetap lebih terjamin.

Namun, lemparan ide Gus Hasan lebih menantang karena esensi yang dibidiknya bukan persoalan nomenklatur semata, tetapi bagaimana cita rasa univesalitas UIN bisa lebih berdampak dibanding sekadar menjadi universitas tapi terpasung oleh namanya sendiri. Gus Hasan melihat bahwa UIN sudah harus membumikan nilai-nilai keislaman secara nyata, bukan sebatas pada aspek simbolik semata.

Gus Hasan sebenarnya ingin menyodorkan perlunya menghidupkan wacana transformasi jilid dua atau sebutlah transformasi pendidikan tinggi keagamaan 2.0. Transformasi pertama ketika dari Institut Agama Islam menjadi universitas Islam. Dan transformasi berikutnya, adalah dari Universitas Islam menjadi Universitas "an sich." Keislamannya sudah bisa terbaca dari dirinya, misalnya: UIN Alauddin menjadi Universitas Alauddin. Semua tahu kalau Alauddin adalah Sultan atau Raja Islam dan karenanya Alauddin sendiri sudah mewakili "Islam" yang dilekatkan pada nama universitas. Dan dari penamaan itu akan muncul persepsi bahwa di sebuah daerah dikenal universitas umum, misalnya: Universitas Hasanuddin, yang namanya diambil dari pahlawan nasional di daerah itu. Maka di daerah itu juga, ada perguruan tinggi yang sama yang namanya diambil dari tokoh Islam paling berpengaruh dalam sejarah, Sultan Alauddin.

Menjadi UI Negeri

Perubahan nama perguruan tinggi ini juga bisa berdampak hilangnya kata "Negeri" pada UIN. Hilangnya kata itu tidak lantas universitasnya sudah hilang esensi kenegeriannya. Bisa saja di pikiran Gus Hasan, menyatakan secara eksplisit kenegerian suatu universitas itu adalah proses simbolik bagi universitas yang masih merasa perlu memperkenalkan jati dirinya. Universitas besar di Indonesia tidak perlu menyatakan negeri, karena orang sudah paham kalau sudah berstatus negeri. Mungkin juga menggelayut dalam pikiran Gus Hasan saat mencoret tulisannya, pertanyaan tentang poin penting untuk memperjelas kenegerian sebuah universitas, sementara arus global sekarang meniscayakan kemandirian pengelolaan universitas dari negara, yang sama saja diterjemahkan sebagai proses swastanisasi.

Sorotan kedua Gus Hasan adalah tantangan bagi terwujudnya "competitive advantage" UIN. Gus Hasan menunjuk bahwa dari namanya, UIN identik dengan kajian Islam sebagai "core business"nya. Kajian keislaman inilah yang menjadi distingsi bagi UIN dan PTKIN secara umum dibanding Perguruan Tinggi Umum, seperti yang disinyalir Gus Hasan.

Keluar dari Zona kurang Nyaman

Saya tertarik dengan klaim Gus Hasan bahwa kesulitan UIN untuk melakukan diversifikasi keilmuan meskipun sudah menjadi universitas, karena susahnya keluar dari historisitas pen"diri"an UIN yang memang diset untuk penguatan ilmu keislaman. IAIN dihadirkan bukan untuk kajian keagamaan secara umum, karena agama lain juga memiliki institut tersendiri.

Ketika transformasi berlangsung, UIN belum sepenuhnya bisa keluar dari balutan keIAINnannya, dan berefek pada munculnya plesetan, "UIN rasa IAIN".

Saya menggunakan istilah "tidak sepenuhnya" karena sebenarnya UIN yang ada sekarang sudah berusaha keras untuk memoles diri dan menabur pesona universalitasnya. Beberapa UIN sudah berhasil menyuntikkan "kesadaran kolektif" kepada masyarakat bahwa di sana sudah terjadi diversifikasi kajian yang bukan sebatas kajian keislaman. Bahkan setidaknya tiga UIN yang mengembangkan studi kedokteran sudah menjadi destinasi utama bagi siswa dari latar belakang sekolah umum.

Adapun masalah "competitiveness" UIN, terutama saat diperhadapkan kepada perguruan tinggi umum yang sudah mapan memang perlu disorot secara khusus. Indikatornya adalah program studi umumnya masih belum menjadi pilihan utama bagi siswa. Namun Gus Hasan mungkin perlu menilik bahwa di tengah arus diversifikasi kajian, UIN juga berhadapan dengan tantangan keseimbangan kajian, jumlah mahasiswa pada prodi umum di UIN tertentu lebih besar dibanding prodi-prodi agama. Artinya secara peminat, prodi-prodi umum di UIN yang lebih dekat dengan pasar kerja sudah menarik perhatian khalayak siswa.

Menghapus Memori Persemakmuran

Yang sangat menarik dari Gus Hasan, bahwa diskursus perlunya UIN bertransformasi 2.0 adalah tuntutan perluasan target pasar. Kondisi kesejarahan perguruan tinggi keagamaan yang dibentuk dengan sistem "kelas jauh" di daerah yang berinduk pada IAIN tertentu menyisakan memori pada banyak orang bahwa UIN yang ada di daerah-daerah adalah "cabang" yang diperuntukkan untuk siswa yang ada di sekitar daerah di mana UIN berada. Memori ini kemudian melahirkan generalisasi bahwa model kajian yang dikembangkan relatif sama dari daerah ke daerah. Jadi perubahan nama bisa meminimalisir persepsi tentang "cabang." Sehingga perubahan persepsi akan berdampak pada upaya perluasan wilayah jelajah sosialisasi yang berdampak pada peluang ketertarikan input bukan hanya dari daerah sekitar.

Perubahan persepsi bahwa di antara UIN yang ada bukan hanya "persemakmuran" akan memberi ruang bagi pengembangan disiplin tertentu, sehingga sebuah UIN yang berada di daerah tertentu akan menjadi destinasi bagi pengkaji yang tertarik pada bidang tersebut, tanpa terjebak pada masalah jarak secara geografis atau kepadatan kota di mana UIN didirikan.

Saya melihat gagasan Gus Hasan ibarat sebuah dentuman bagi siapa saja yang berkepentingan untuk melihat kiprah UIN menjadi moncer. Tidak selalu mudah untuk mewujudkan dan menerima perubahan. Proses perubahan juga sering kurang menyenangkan bahkan terkadang berhadapan dengan penolakan. Mereka yang sudah menjadi UIN juga sudah merasakan "kesakitan" dari transformasi yang mereka alami. Tapi hasilnya lebih dari yang kita prediksi. Saya sebagai produk asli IAIN, sekitar 10 tahun lalu tidak membayangkan bahwa UIN tempat mengajar saya akan mencetak dokter. Sekarang saya berani membayangkan bahwa 10 tahun ke depan, para dosen UIN yang datang berobat ke klinik atau rumah sakit, akan sering disapa oleh klinisi, "Pak/Bu, saya alumni UIN Alauddin."

Sebelumnya saya tidak berani membayangkan bahwa UIN tempat saya mengajar akan memiliki jumlah professor yang mendekati angka 100, dan dari professor itu lahir ragam keilmuan keagamaan hasil jerih payah Kementerian Agama untuk memprofessorkan dosen-dosennya sendiri. Termasuk hadirnya Professor Arsitektur, Professor Peternakan, atau Professor Mikrobologi yang meskipun professornya masih di Kementerian Pendidikan, tapi mereka menjadi Professor sebagai dosen PTKIN.

Akhirnya, mengikuti alur pikir Gus Hasan, bagaimana kalau kita mencoba sekali lagi transformasi yang dimulai dari "rename" UIN. Paling tidak, kita berani berpikir ke arah itu, bernyali memikirkan sebuah universitas "pilot project". Mungkin kita kembali akan merasakan "kesakitan," termasuk suara-suara yang berbau penolakan. Tapi bagaimana bisa tahu kalau tidak mencoba? "If you never try, you never know," kata band musik, Coldplay.

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin, Makassar)

Widyawan Sigitmanto
Widyawan Sigitmanto Admin Simkah Web Id sejak dibuat sampai sekarang ;)
Sawer Admin via : Saweria