Memaknai Iman kepada Tuhan Yang Maha Asyik 

Thobib Al Asyhar, dosen Kajian Islam dan Psikologi pada SKSG Universitas Indonesia, Direktur GTK Madrasah Kemenag.

Ada "guyonan" ala santri yang cukup menggelitik tentang sikap beragama. Kenapa kaum sarungan (santri) kalau lagi salat seperti terkesan rileks? Saat takbir sekali, "Allahu akbar", langsung jadi. Tanpa kerutan kening dan dua titik hitam di jidat. Kadangkala badannya agak sedikit gerak-gerak yang menandakan enjoy dan tenang. Konon karena mereka merasa "sudah akrab" dengan Tuhan. Tanda keakrabannya terlihat saat berkomunikasi dengan Tuhan (salat).

Candaan itu seperti menggambarkan potongan fakta. Setidaknya tidak sepenuhnya salah. Pengalaman saya pernah "nyantri" selama enam tahun melihat salatnya para santri dan kyai kurang lebih mengafirmasi fakta di atas. Demikian juga saat berjamaah salat di lingkungan tokoh-tokoh agama berlatar belakang santri juga demikian. Dengan pengetahuan ilmu fikihnya yang luas, mereka begitu ringan dan rileks menjalani salat dengan segala kemudahan syarat dan rukunnya.

Lain halnya saat melihat kaum literal beribadah (salat). Orang-orang yang selalu "minta dalil" itu saat melakukan salat nampak "sangat fokus" dengan kening terlihat berkerut. Kadang dengan takbir yang dilakukan berulang-ulang. Bahkan, tidak jarang sebelum salat berjamaah mereka cari-cari ujung jari kaki jamaah lain untuk "diinjak" agar memenuhi prinsip "connecting" sebagai amalan "sunnah" Nabi. Kenapa seperti itu? Konon mereka merasa "kurang akrab" dan "segan" dengan Tuhan.

Perbandingan kedua model beragama itu sekedar contoh saja. Lebih pada ingin melihat bagaimana kita menempatkan cara pandang kepada Allah, Zat yang maha Pengasih, Penyayang, Pemurah, dan Pengampun dalam proporsi yang pas. Dalam sebuah hadis Nabi disebutkan: “Sesungguhnya kasih sayang-Ku mengalahkan Murka-Ku”. (HR. Muslim). Artinya, Allah Dzat yang maha Asyik, Maha Baik, tidak pelit, dan tidak "mudah" murka, sebagaimana lebih banyak digambarkan oleh kaum literal.

Dalam QS: Qaaf: 16 ditegaskan bahwa keberadaan Allah dengan diri manusia lebih dekat dari urat nadi (wa nahnu aqrabu ilaihi min hablil-warid). Artinya, Allah sungguh sangat dekat dengan manusia, yang sepatutnya kita memandang-Nya tanpa perlu jarak pemisah. Layaknya seorang "sahabat" kita perlu menempatkan Allah sebagai sosok yang sangat menyenangkan, sangat support atas semua persoalan hidup kita. Sehingga, kondisi apapun, kita bisa bercengkrama dengan-Nya, meminta tolong dan perlindungan langsung kepada-Nya serta segan "berkhianat" kepada-Nya.

Karenanya, cara pandang kita kepada Allah sebagai sosok yang "mengasyikkan" tentu sangat penting. Cara kaum sufi memandang Allah tanpa jarak telah membentuk kepribadian yang lembut, baik, dan memandang makhluk lain dengan penuh cinta kasih. Tiada sedikitpun rasa benci bahkan kepada pihak yang menyakiti mereka sekali pun. Kenapa? Karena antara dirinya dengan diri Tuhan telah menyatu dalam kesejatian dan keluhuran sifat-sifat-Nya.

Kisah "keakraban" Tuhan dengan Nabi Musa sebagai "kekasih-Nya" diceritakan dalam kitab Fathul Majid, Syarkh ad-Durrul Farid fi Aqa'idi Ahlit Tauhid, salah satu karya Syaikh Nawawi disebutkan: Suatu hari Nabi Musa as. mengadukan derita sakit giginya kepada Allah. Kemudian Allah memerintahkan untuk mengambil beberapa helai rumput di suatu tempat. "Letakkan rumput itu pada gigimu yang nyeri," kata Allah.

Seketika itu sakit giginya reda. Selang beberapa waktu kemudian, sakit gigi Nabi Musa kembali kambuh. Tanpa mengadu kepada Allah, Nabi Musa langsung menuju padang rumput yang pernah didatangi beberapa masa silam. Lalu ia mengobati giginya dengan rumput seperti praktk yang pernah dilakukannya. Bukannya sembuh, malah sakit giginya semakin menjadi (parah).

Dan Nabi Musa pun bermunajat lagi kepada Allah: "Nabi Musa as. berkata: ‘Tuhanku, bukankah Engkau memerintahkanku dan menunjukkanku untuk ini?’ Lalu Allah menjawab, ‘Aku-lah Sang Penyembuh. Aku-lah pemberi kebaikan. Aku-lah yang mendatangkan mudharat. Aku pula yang mendatangkan kemaslahatan. Pada sakitmu yang pertama, kau mendatangi-Ku. Karenanya, Ku-sembuhkan penyakitmu. Tetapi kali ini, kau langsung mendatangi rumput itu, bukan mendatangi-Ku."

Kisah antara nabi Musa dan Allah tersebut menunjukkan "keakraban" hubungan keduanya. Saat nabi Musa butuh pertolongan karena sakit gigi, Allah langsung memberi "resep" ampuh hingga langsung sembuh. Namun, Allah seperti "nyandain" nabi Musa saat beliau ingin berobat lagi dengan resep sama tapi tanpa izin dari Allah. Cara Musa tersebut tidak diridhai Allah padahal Musa adalah "kekasih-Nya". Lalu nabi Musa meminta ampun kepada-Nya dan Allah mengampuninya. Sebuah relasi antara makhluk dan Sang Khaliq yang sangat asyik.

Nah, dalam konteks kehidupan kita, munculnya sikap beragama yang kaku, mudah menge-judge orang lain disebabkan karena cara pandang kita kepada Allah sebagai Tuhan yang "menakutkan" dengan kemahakuasaannya. Tuhan yang memiliki aturan-aturan keras dengan ancaman-ancaman siksa neraka.

Dalam kitab suci, Tuhan memang menyebut "inna 'adzaabi la syadiid", sesungguhnya siksa-Ku sangat pedih. Namun, penekanan kalimat itu hanya ingin menegaskan bahwa selain ke-Mahamurahan-Nya, Allah juga memiliki sifat tegas bagi mereka yang berperilaku "berlebihan". Hal ini untuk menunjukkan kepada makhluk-Nya memiliki "wibawa" yang mutlak.

Cara pandang kita kepada Allah akan sangat menentukan corak pembentukan kepribadian beragama seseorang. Lihatlah watak kaum "Khawarij" yang sangat kaku dalam menjalankan ajaran dan keyakinan agamanya. Dalam sejarah dicatat, kaum Khawarij adalah mereka yang memandang keyakinannya dengan kaca mata kuda. Mereka lebih menonjolkan ajaran dan keyakinan agama yang menempatkan Allah sebagai penguasa jagad raya yang "seram" dan "menakutkan".

Salah satu doktrin Khawarij yang dijadikan standar teologis adalah bahwa bagi siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah (Al-Quran) menurut "kaca mata" mereka, maka termasuk kaum kafir yang halal darahnya. Hal ini dibuktikan dengan tuduhan kafir kapada Sayyidina Ali bin Abi Thalib saat menerima tahkim arbitrase dengan Mu'awiyah karena dianggap berhukum bukan dengan hukum Allah.

Yang lebih parah lagi, tafsir ajaran dan keyakinan agama kaum Khawarij benar-benar diwujudkan melalui tangan bernama Abdurrahman bin Muljam membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib saat memimpin salat subuh di Masjid Agung Kufah. Siapa sosok Pembunuh itu? Ia adalah ahli tahajud, puasa, dan penghafal Al-Qur’an. Seorang yang sangat religius namun salah dalam memaknai teks Al-Quran. Tentu, ini merupakan tragedi kemanusiaan yang menyedihkan yang dicatat oleh tinta gelap sejarah atas pembunuhan terhadap seorang khalifah Islam yang nota-bene sahabat Nabi dan suami putri Rasulullah.

Belajar dari uraian dan kilas balik sejarah di atas, selayaknya kita ambil pelajaran bahwa beragama harus dimulai dari cara beriman kita kepada Allah dengan benar. Iman yang memancarkan sifat-sifat Allah yang berlimpah rahmat (kasih sayang) dibandingkan sifat ghadlab (murka-Nya).

Bukankah setiap saat kita membaca "basmalah" yang menyebut Allah Dzat yang Maha Pengasih lagi Penyayang? Bukankah diutusnya Rasulullah di muka bumi ini untuk menebarkan rahmat kepada penduduk alam? Mari menjadi umat beragama yang memandang sesama dan makhluk lain dengan kaca mata kasih sayang. Wallahu a'lam bish-shawab.

Thobib Al Asyhar, dosen Kajian Islam dan Psikologi pada SKSG Universitas Indonesia, Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan Madrasah Kementerian Agama.

Widyawan Sigitmanto
Widyawan Sigitmanto Admin Simkah Web Id sejak dibuat sampai sekarang ;)
Sawer Admin via : Saweria