Gender Mainstreaming, Transformasi Penyelenggaraan Haji

Penyelenggaraan ibadah haji merupakan salah satu misi besar yang diemban oleh pemerintah Indonesia setiap tahunnya; mengingat jumlah jemaah yang selalu mencapai ratusan ribu. Dalam setiap penyelenggaraan ibadah haji, kualitas layanan menjadi fokus utama, terutama dalam memenuhi kebutuhan jemaah yang beragam, baik dari segi usia, kondisi kesehatan, maupun gender.

Tahun ini, penyelenggaraan haji terbilang sukses dan mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak atas upaya dan dedikasi yang telah ditunjukkan. Namun, masih ada ruang untuk perbaikan, khususnya dalam menerapkan perspektif gender mainstreaming agar layanan haji semakin inklusif dan responsif terhadap kebutuhan semua jemaah.

Di tengah upaya pemerintah untuk terus meningkatkan kualitas layanan, penyelenggaraan ibadah haji yang berbasis perspektif gender mainstreaming mulai diinisiasi di era Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas sejak penyelenggaraan haji tahun 2023. Langkah ini merupakan bagian dari komitmen untuk memberikan layanan yang lebih adil dan inklusif, terutama bagi jemaah perempuan yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan jemaah laki-laki. Statistik dari Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) tahun 2024 menunjukkan bahwa 55,6% jemaah haji Indonesia adalah perempuan. Ini menjadi peluang besar untuk lebih meningkatkan keterwakilan perempuan sebagai petugas haji, sehingga layanan dapat lebih responsif dan sesuai dengan kebutuhan mayoritas jemaah.

Sebelumnya Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas sudah memulai inisiatif gender mainstreaming di bidang pendidikan melalui program Madrasah Ramah Gender. Inisiatif ini didorong oleh adanya pemahaman bahwa banyak tafsiran soal peran perempuan dalam masyarakat yang selama ini keliru dan tidak adil. Program Madrasah Ramah Gender bertujuan untuk mengubah persepsi yang ada dengan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih inklusif dan mendukung peran perempuan.

Keseriusan Gus Men, sapaan akrab Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam mengawal gender mainstreaming terlihat dari upayanya untuk menangani masalah kekerasan seksual, khususnya di lingkungan pesantren. Ia menyadari pentingnya memberikan edukasi kepada masyarakat tentang dampak buruk dari candaan bernuansa seksual yang sering dianggap sepele. Kesadaran ini menjadi sangat penting karena candaan semacam itu tidak hanya sekadar lelucon, tetapi bisa menciptakan lingkungan yang tidak aman dan diskriminatif bagi perempuan.

Gus Men tidak hanya mendorong peningkatan peran perempuan dalam pengambilan keputusan, tetapi juga berupaya melampaui stereotip tradisional yang sering kali membatasi perempuan untuk menduduki posisi penting. Buktinya, ia mendukung dan mengangkat perempuan ke posisi strategis sebagai pimpinan dalam jajarannya di Kementerian Agama. Menag menunjukkan bahwa penilaian seharusnya didasarkan pada kompetensi dan kapabilitas, bukan pada gender.

Isu perempuan terus menjadi fokus perhatian Gus Men. Ia secara konsisten mengintegrasikan perspektif gender dalam berbagai kebijakan yang diambilnya, termasuk dalam misi penyelenggaraan haji.

Gender Mainstreaming

Keseriusan Menag dalam mengawal gender mainstreaming juga tidak lepas dari pengaruh lingkungannya. Sebagai seorang ayah dari empat anak perempuan, ia melihat langsung bagaimana perempuan menghadapi tantangan dalam masyarakat yang cenderung didominasi budaya patriarki. Hal ini mungkin menjadi salah satu faktor yang mendorongnya untuk terus memperjuangkan kesetaraan gender, baik dalam kebijakan maupun praktik sehari-hari.

Puncak dari keseriusan Menteri Yaqut dalam mengawal gender mainstreaming terlihat jelas pada penyelenggaraan haji tahun 2023. Ia melihat dengan jelas bahwa mayoritas jemaah haji Indonesia adalah perempuan, banyak di antaranya lansia. Hal ini mendorong Menteri Yaqut untuk menyesuaikan layanan haji, memastikan bahwa kebutuhan khusus kelompok ini lebih diperhatikan dan diakomodasi dengan baik.

Di sinilah konsep Ramah Lansia pertama kali diperkenalkan sebagai tagline penyelenggaraan haji. Dengan tagline ini, Kemenag menunjukkan komitmennya untuk menyediakan layanan yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan jemaah, terutama yang sudah lanjut usia. Tagline ini menjadi komitmen layanan haji yang lebih adil dan setara. Setelah melalui berbagai diskusi dan evaluasi, pemerintah memutuskan untuk lebih serius mengimplementasikan prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam seluruh aspek penyelenggaraan haji salah satunya dengan melibatkan Amirul hajj perempuan.

Kehadiran Amirul Hajj perempuan dimulai sejak tahun 2023. Keberadaannya guna memastikan bahwa kebutuhan dan perspektif perempuan benar-benar diperhatikan dalam layanan haji. Dengan peran ini, diharapkan layanan haji menjadi lebih inklusif dan mampu merespons kebutuhan jemaah perempuan dengan lebih baik.

Saya berkesempatan berbincang dengan Mariana Hasbie, salah satu perwakilan Amirul Hajj perempuan yang juga bertugas sebagai juru bicara Menteri Agama. Dalam percakapan kami, ia menegaskan bahwa keterlibatan perempuan dalam peran Amirul Hajj bukanlah sekadar simbolis, melainkan memiliki makna yang sangat penting. Menurutnya, peran ini krusial untuk memastikan bahwa perspektif perempuan terwakili dengan baik dalam layanan haji, terutama karena perempuan sering kali menghadapi tantangan dan kebutuhan khusus yang mungkin terabaikan.

​​​​​​​

Mbak Anna, panggilan akrabnya, mengatakan “Nah, siapa yang tahu soal kebutuhan perempuan itu kalau bukan perempuan itu sendiri. Makanya adanya Amirul Hajj perempuan. Jadi Amirul Hajj ini kan tugasnya dia keliling tuh. Ya kan? Keliling, dia ngobrol sama jemaah. Lalu nanti hasil dia bawa untuk jadi rekomendasi. Gitu”. (Wawancara Anna Hasbie, 2024).

Sebagai Amirul Hajj perempuan, Mbak Anna, memiliki misi untuk memberikan layanan yang lebih inklusif dan responsif, yang didasarkan pada kesetaraan gender. Ia menjelaskan bahwa perempuan dalam posisi ini lebih mampu memahami kebutuhan jemaah perempuan. Hal ini karena jemaah perempuan, terutama yang lansia, sering kali menghadapi situasi yang membutuhkan perhatian khusus, seperti dalam hal mobilitas dan kebutuhan sehari-hari. Dengan adanya Amirul Hajj perempuan, kebutuhan-kebutuhan ini dapat diidentifikasi dan direspons dengan lebih baik, untuk menciptakan layanan haji yang lebih menyeluruh dan inklusif.

Keterlibatan perempuan dalam penyelenggaraan layanan haji bukan tanpa catatan, sebagai mula tentu masih banyak perbaikan yang dibutuhkan. Peningkatan jumlah dan peran perempuan dalam posisi strategis sebagai petugas, serta penyediaan pelatihan khusus yang berfokus pada keterampilan tanpa membedakan gender, adalah langkah-langkah krusial yang perlu diimplementasikan. Selain itu, pembentukan kelompok konsultatif gender juga penting untuk memberikan masukan dan rekomendasi yang lebih baik, sehingga layanan haji dapat lebih inklusif dan adil bagi semua jemaah.

Di bawah kepemimpinan Yaqut Cholil Qoumas, gender mainstreaming telah berkembang menjadi lebih dari sekadar wacana. Gender mainstreaming telah menjadi salah satu transformasi dalam layanan penyelenggaraan haji yang membawa perubahan positif. Dengan penuh rasa hormat, izinkan kami mengangkat topi, mengapresiasi visi dan keberanian Menteri Agama dalam membuka ruang bagi perubahan yang tidak hanya mendukung kesetaraan, tetapi juga memberikan harapan baru untuk masa depan layanan di Kementerian Agama yang lebih seimbang dan berkeadilan.

Widyawan Sigitmanto
Widyawan Sigitmanto Admin Simkah Web Id sejak dibuat sampai sekarang ;)
Sawer Admin via : Saweria