Mesir dan Kemerdekaan Indonesia
M. Fuad Nasar, mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK pada UIN Imam Bonjol Padang
Grand Syekh Al Azhar, Cairo, Mesir, Prof. Dr. Ahmed Muhammad Ahmed Al-Tayeb telah menyelesaikan agenda kunjungannya selama 4 hari di Indonesia, 8 - 11 Juli 2024.
Kedatangan dan kepulangannya disambut dan dilepas oleh Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas di Bandar Udara Soekarno-Hatta Jakarta, Tangerang Banten, atas nama pemerintah Republik Indonesia. Kepada Menteri Agama, Grand Syekh Ahmed Al-Tayeb, mengaku senang dan puas berkunjung ke Indonesia karena mendapat sambutan hangat dari masyarakat Indonesia, tidak hanya muslim, tapi juga umat dari berbagai agama.
Kunjungan Grand Syekh Al-Azhar ke Indonesia tahun ini berlangsung satu bulan menjelang Republik Indonesia memperingati Hari Ulang Tahun Ke-79 Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 2024. Mesir selalu disebut sebagai negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Dalam catatan sejarah, H.M. Rasjidi, Menteri Agama Pertama Republik Indonesia, pada 1950-1952 diangkat menjadi Duta, waktu itu belum ada istilah Duta Besar, untuk Mesir merangkap Saudi Arabia.
Selama di Indonesia, Al-Imam Al-Akbar Syekh Ahmed Al-Tayeb diterima sebagai tamu kehormatan oleh Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin, dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang juga Presiden Indonesia terpilih dalam Pemilu 2024. Dalam ketatanegaraan Republik Arab Mesir (Egypt) Syekhul Azhar memiliki kedudukan protokoler yang tinggi dan sangat dihormati.
Pada 9 Juli 2024 Grand Syekh Al-Azhar menyampaikan Kuliah Umum di Auditorium Harun Nasution UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan tema “Meneguhkan Moderasi Beragama untuk Membangun Toleransi dan Harmoni”.
Grand Syekh Al-Azhar juga menghadiri acara Interfaith and Intercivilizational Reception yang digelar atas kerjasama antara Kementerian Agama dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ia juga mengunjungi Pusat Studi Quran (PSQ) sebuah lembaga yang digagas oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab, dan berkunjung ke Pesantren Darunnajah, Ulujami, Pesanggrahan, Jakarta Selatan.
Momen berharga kehadiran delegasi Grand Syekh Al-Azhar dimanfaatkan oleh Kementerian Agama untuk meresmikan peluncuran pembangunan Markaz Tathwir Ta’lim At-Thullab Al-Wafidin Wa Al-Ajanib atau Pusat Pengembangan Pendidikan Mahasiswa Asing Al-Azhar Cabang Indonesia. Prosesi peresmian dilakukan oleh Direktur Markaz Tathwir Universitas Al-Azhar Prof. Dr. Nahla Sabry El-Seidy bersama Wakil Menteri Agama RI Saiful Rahmat Dasuki di Auditorium H.M. Rasjidi Gedung Kementerian Agama Jalan M.H. Thamrin No 6 Jakarta.
Sementara itu, dalam sesi pertemuan Grand Syekh Al-Azhar dengan pimpinan Badan Amil Zakat Nasional Prof. Dr. Noor Achmad dan jajarannya, BAZNAS menyerahkan infak kemanusiaan senilai USD 2 juta atau sekitar Rp 32 miliar untuk rakyat Palestina melalui Bayt Zakat wa As-Shadaqat, lembaga sosial di bawah naungan Grand Syekh Al-Azhar. Syekh Ahmed Al-Tayeb mengapresiasi komitmen BAZNAS selama ini yang mengirim bantuan untuk bangsa Palestina. Grand Syekh Al-Azhar juga menghadiri sesi pertemuan dengan Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) Prof. Dr. Kamaruddin Amin yang didampingi beberapa pengurus BWI.
Hari terakhir lawatannya di Indonesia, Grand Syekh Al-Azhar bersilaturahmi dengan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Haedar Nashir dan jajaran PP Muhammadiyah. Pertemuan yang akrab berlangsung di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jl. Menteng Raya No 62 Jakarta Pusat.
Mesir mengisi tempat khusus dalam lembaran sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, khususnya di bidang diplomasi sebagai ujung tombak perjuangan. Dalam risalah Sekitar Perjanjian Persahabatan Indonesia - Mesir Tahun 1947, dimuat dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim (1984), mantan Menteri Muda Penerangan A. R. Baswedan menulis catatan sejarah sebagai berikut:
“Matahari musim semi menyambut kami ketika melandas di lapangan terbang Kairo 10 April 1947. Airport terasa sibuk. Kami berempat, Haji Agus Salim, Dr. Mr. Nazir St Pamuncak, Rasjidi (sekarang Prof. Dr. H. Rasjidi) dan saya, turun. Dengan menjinjing aktentas sederhana yang kuncinya sering macet dan berbekal secarik kertas kumal keluaran Kementerian Luar Negeri dengan tulisan “Surat Keterangan Dianggap Sebagai Paspor”, kami meninggalkan pesawat menuju ruang imigrasi. Berdesak di antara sekian banyak penumpang yang berpakaian rapi, saya cuma mengenakan pakaian biasa – itu seragam perjuangan yang terkenal, setelan kain khakik dan sepatu sandal lusuh. Pegawai imigrasi, tinggi besar dengan kumis melintang mengamati ‘paspor’ kami. Roman mukanya agak berkerinyut, dan Haji Agus Salim cepat memberi keterangan bahwa kami adalah anggota delegasi Mission Diplomatique dari Indonesia, sebuah negara baru di Asia, begitu kata beliau. Petugas itu mengangkat bahu, rupanya ia tak pernah belajar ilmu bumi tentang Indonesia.”
Baswedan melanjutkan catatan pengalamannya, “Are you Moslem? mendadak dia bertanya, ‘Yes!’ jawab kami serentak. Jawaban yang spontan seperti pada paduan suara, sehingga kami berempat saling berpandangan sampil tertawa. Petugas itu mungkin telah melihat nama-nama yang tertera di surat itu bernafaskan Islam. ‘Well, then, Ahlan Wa Sahlan. Welcome!” ucapnya. Tanpa banyak cingcong, tanpa melihat surat-surat lagi atau periksa memeriksa tas, kami dipersilakan lewat. Beberapa menit kemudian muncul di ruang tunggu Sekjen Liga Arab, Azzam Pasha, dan beberapa mahasiswa Indonesia.”
Pengakuan Mesir terhadap kemerdekaan Republik Indonesia merupakan pengakuan pertama dari dunia internasional. Selanjutnya, disusul pengakuan atas kemerdekaan Indonesia dari Kerajaan Saudi Arabia, yang diserahkan langsung oleh Raja Abdul Aziz Al Su’ud dan diterima oleh H.M. Rasjidi di Istana Raja di Riyadh tanggal 24 November 1947. Negara-negara Arab lainnya yang mengakui kemerdekaan Indonesia dalam tahun 1947/1948, ialah Suriah, Yordania, Irak, Lebanon, Yaman, dan Afghanistan. Sampai Desember 1949 hanya negara-negara Arab yang mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia secara de facto dan de jure.
Dalam masa genting itu dukungan Mesir terhadap kemerdekaan Indonesia tidak sekadar pengakuan de facto dan de jure saja, tetapi lebih jauh kedua negara mengadakan Perjanjian Persahabatan pada tanggal 10 Juni 1947. Perjanjian persahabatan yang mencakup hubungan diplomatik dan perdagangan ditanda-tangani di Cairo oleh Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Mesir Mahmud Fahmi Nokrasyi Pasha dan Menteri Luar Negeri Indonesia Haji Agus Salim.
Semenjak abad ke-19, Mesir merupakan salah satu negara favorit pemuda Indonesia yang ingin menambah ilmu pengetahuan Islam. Sepanjang sejarahnya yang gemilang, lebih dari 1.000 tahun, Universitas Al-Azhar bertransformasi dari sistem tradisional menjadi sistem modern di awal abad dua puluh. Perubahan dan pembaharuan Al-Azhar dicetuskan oleh Mohammad Ali Pasha, Syekh Mohammad Abduh dan muridnya Muhammad Rasyid Ridha.
Kitab-kitab karya “Ulama Al-Azhar” menjadi bacaan para pelajar perguruan agama dan pondok pesantren berhaluan modernis di Indonesia sejak zaman kolonial, misalnya Tafsir Al-Manar karya Muhammad Rasyid Ridha yang disusun sesuai pola pemikiran gurunya Syekh Mohammad Abduh. Terjemahan buku-buku karya ulama Al-Azhar, seperti Syekh Mustafa Al-Maraghi, Syekh Mahmoud Syaltut, Syekh Abdul Halim Mahmud, Sayyid Sabiq, Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rawi, dan lain-lain, tidak asing lagi bagi masyarakat muslim Indonesia khususnya peminat literasi.
Rektor Universitas Al-Azhar Dr. Syekh Abdurrahman Taj tahun 1955 berkunjung ke Indonesia dan meninjau Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang, Sumatera Barat. Rektor Al-Azhar terkesan dengan sistem pendidikan Diniyyah Puteri. Di Mesir sendiri waktu itu belum ada sekolah/perguruan khusus bagi anak perempuan. Pendiri dan pemimpin Diniyyah Puteri Padang Panjang Rahmah El Yunusiyyah diundang ke Universitas Al-Azhar untuk membentangkan pengalamannya membangun pendidikan Islam di Indonesia.
Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang menginspirasi Universitas Al-Azhar Cairo sehingga mendirikan “Kulliyatul Banat,” fakultas khusus untuk perempuan. Universitas Al-Azhar memberi gelar kehormatan “Syaikhah” kepada Rahmah El-Yunusiyyah. Satu-satunya ulama perempuan yang pernah mendapat gelar Syaikhah dari Al-Azhar ialah Ibu Hj. Rahmah El Yunusiyyah.
Pada tahun 1926 Universitas Al-Azhar menganugerahkan gelar Doctor Honoris Causa kepada dua orang ulama pendidik Syekh Haji Abdul Karim Amrullah dan Haji Abdullah Ahmad dari Sumatera Barat. Kedua tokoh ulama itu dapat dicatat sebagai orang Indonesia pertama yang mendapat gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar Cairo, setelah itu Dr. K.H. Idham Chalid (1957) dan Prof. Dr. Hamka (1959).
Buku-buku terjemahan karya Grand Syekh Al-Azhar Prof. Dr. Syekh Mahmoud Syaltout, seperti Fatwa-Fatwa, Tuntunan Islam, dan Islam Sebagai Aqidah dan Syariah, penerbit Bulan Bintang, diminati pembaca Indonesia era 1970 -1980-an. Syekh Mahmoud Syaltout selaku Grand Syekh Al-Azhar adalah yang memberi nama Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta Selatan dalam kunjungannya tahun 1961.
Dalam konteks kerjasama kontemporer Indonesia dengan Universitas Al-Azhar, Kementerian Agama memiliki program pengiriman mab’uts (tenaga pengajar) dari Universitas Al-Azhar yang ditugaskan mengajar di sejumlah lembaga pendidikan di Indonesia, yaitu perguruan tinggi, madrasah dan pondok pesantren. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta semenjak beberapa tahun silam membuka Fakultas Dirasat Islamiyah yang merupakan replika Fakultas Dirasat Islamiyah Universitas Al-Azhar Cairo. Kurikulum dan mutu akademiknya disetarakan dengan Universitas Azhar, dan hampir seluruh dosennya adalah alumni Al-Azhar dengan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar.
Saat ini terdapat 15 ribu mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan di Universitas Al-Azhar Cairo. Mereka adalah penerima manfaat beasiswa dan manfaat wakaf pendidikan Al-Azhar.
Republik Indonesia dan Republik Arab Mesir (Jumhuriyat Misr al-Arabiyah) adalah sahabat sepanjang masa.
M. Fuad Nasar, mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK pada UIN Imam Bonjol Padang