Murur “Ijtihad” Cerdas di Tengah Padatnya Muzdalifah, Catatan Haji Perempuan (1)

Selamat atas terobosan Haji 2024. Tahun ini skema haji menerapkan Murur. Ada sekitar 55 ribu jemaah yang ikut Murur. Apa itu Murur?

Masih ingat Muzdaifah 2023? Saat jemaah haji sampai siang “kenthang-kenthang” belum habis terjemput untuk segera diantarkan ke Mina. Peristiwa yang dramatik dan heroik, tanpa persiapan logistik dan bertahan di panas menyengat. Sungguh entah bagaimana bis-bis Mashariq terlambat menjemput. Saya ada di antara mereka sampai tengah hari dan tak semua kloter yang saya dampingi terangkut. Peristiwa ini menjadi evaluasi dari Kemenag terhadap mitra kerjanya yang bisa dibaca dalam laporan resmi haji 2023.

Menginap atau mabit di Muzdalifah adalah bagian dari manasik haji (mabit dalam hal ini diartikan sebagai berhenti sejenak, sejak mereka dijemput dari Arafah, diturunkan di Muzdalifah dan sebelum subuh sudah dibawa ke Mina). Menurut Imam Syafii, Malik, dan Ahmad bin Hanbal, hukum melakukannya adalah wajib. Tapi menurut sahabat di antaranya Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, dan sebagian tabi’in seperti Alqamah, Al Sya’abi, al-Nakhai, dan Hasan Basri, mabit ini termasuk rukun. Abu Hanifah dan ada sebagian dari kalangan Syafiiyah yang menghukumi sunah. Bagi Imam Syafii dan lainnya di atas, kadar atau durasi mabit ini berbeda-beda lamanya, bahkan bisa menyebabkan timbulnya dam.

Sementara itu, sidang ulama Syuriyah PBNU dalam Bahtsul Masail Waqi’iyah 28 Mei 2024, sebelum puncak haji datang, menyoroti kompleksnya penyelenggaraan haji, terutama menyangkut mobilisasi 241.000 jemaahnya. Sebelum-sebelumnya, sejak dicoba pada tahun 2000an, dibuat sistem taradudi, yaitu bus bolak-balik menjemput jemaah sesuai dengan shuttle bis yang telah ditentukan untuk menjemput mengantar, dari Arafah-Muzdalifah-Mina. Jarak dari Muzdalifah ke Mina berkisar 8 sampai 9 Km. Sebelum ada sistem taraddudi, dikabarkan jemaah dari Muzdalifah jalan kaki ke Mina, namun banyak yang tersesat. Uji coba taradudi ini sebelumnya sukses diterapkan untuk jemaah Turki. Lalu dicoba ke yang lain, namun kekurangan sering terjadi. Dan, pada 2023 itulah kegentingan melanda jemaah Indonesia.

Murur, melintas Muzdalifah, tidak turun apalagi mabit, selain mengatasi kepadatan merupakan usaha membantu lansia atau yang sakit. Mengapa mengatasi kepadatan? Saat kuota haji ditambah, Muzdlifah tidak diperluas. Bahkan sedang dibangun perluasan toilet, tentu toilet adalah hal yang tidak kalah pentingnya untuk memenuhi hajat. Dengan ketersedian lahan dan jemaah haji yang tersedia seluruhnya, sebenarnya space atau ruang setiap orang hanya 0.4 M2. Kondisi ini juga ditambah dengan realitas tidak dipakainya lagi maktab 1-9 di Mina Jadid (hunian dengan kapasitas 27 ribu jemaah) yang mengakibatkan tenda tenda jemaah di Mina mengambil tempat di Lokasi Muzdalifah. Ini menimbulkan kekhawatiran tidak tertampungnya jemaah karena menyempitnya kawasan itu.

Lalu bagaimana hukumnya Murur? Ada beberapa kategori mabit di Muzdalifah secara fikih. Pertama, menurut Madzhab Malik, mabit itu sekedar durasinya adalah melaksanakan waktu shalat Maghrib - Isya, menurunkan pelana kendaraan, dan makan sejenak. Kedua, bagi Madzhab Imam Syafii dan Ahmad, seseorang yang telah keluar tengah malam dari Muzdalifah, kalau keluar sebelum tengah malam, maka ia wajib membayar dam. Ketiga, seseorang keluar dari Muzdalifah adalah setelah shalat subuh pada 10 Zulhijah. Jika tidak, makai a wajib bayar Dam.

Dengan memperhatikan qaul atau pendapat para ulama tadi, maka Murur atau lewat saja tanpa harus turun di Muzdalifah hukumnya sah dengan pertimbangan dan merujuk dari literatur kitab-kitab Fikih yang ada, seperti: Al Nawawi al Bantani dalam Nihayah al Zain Syarah Qurrah al Aini, Muhyidin Al Nawawi dalam Syarah Muhdzdzab, Al Jaziri dalam Fiqh al Arbaah dll (sebagaimana Ibarah dan Maraji’ yang digunakan dalam Keputusan Bahtsul Masail Waqiiyah PBNU Mei 2024).

Murur juga mengambil alasan kuat bahwa meninggalkan mabit di Muzdalifah karena udzur, hajinya sah dan tidak terkena kewajiban dam. Meninggalkan mabit karena darurat atau adanya masyaqqah karena berdesak-desakan dan berpotensi mengancam keselamatan jiwa adalah bagian dari menjaga jiwa (hifdz al nafs). Demikian ini pendapat Abu Zakaria al Anshari dalam Asna al Mathalib.

Ala’i Nadjib (Jemaah Haji Mandiri, JKG 45)

Widyawan Sigitmanto
Widyawan Sigitmanto Admin Simkah Web Id sejak dibuat sampai sekarang ;)
Sawer Admin via : Saweria