Haji: Transformasi Diri Menuju Kebaikan Sejati

Shaifuddin Fuady, S.Ag., MA (Kepala KUA Lhoksukon dan Dewan Penasehat PC Pergunu Aceh Utara)

Ibadah haji bukan sekadar ritual tahunan yang dilakukan umat Muslim. Lebih dari itu, haji adalah sebuah perjalanan spiritual yang mendalam, yang menawarkan peluang untuk transformasi diri menuju kebaikan sejati. Melalui serangkaian ritual yang penuh makna, haji mengajarkan dan membentuk karakter para jemaah menjadi lebih baik, lebih sabar, dan lebih bertakwa.

Sebagai gambaran, kita dapat melihat contoh nyata dari para penumpang pesawat yang posisi duduknya di kelas bisnis, rela dipindahkan ke kelas ekonomi. Padahal selama hidupnya, mereka mungkin belum pernah menikmati kenyamanan kelas bisnis. Kemudian, saat naik bus yang mengantarkan jemaah haji, mereka rela memberikan kursi duduknya kepada jemaah lansia.

Bahkan saat antri di kamar kecil atau WC, banyak jemaah yang rela mempersilakan orang tua untuk ke WC terlebih dahulu, padahal mereka sudah lama menunggu dan sangat membutuhkan. Itulah ibadah haji, di mana banyak orang berlomba-lomba untuk menjadi baik.

Pembahasan tentang haji ini pun terdapat dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah Ayat 197, yang artinya: "(Musim) haji itu (berlangsung pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Siapa yang mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, janganlah berbuat rafaṡ, berbuat maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala kebaikan yang kamu kerjakan (pasti) Allah mengetahuinya. Berbekallah karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat".

Di antara syarat utama dalam melaksanakan haji adalah tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan. Ketiga hal ini membuat seseorang benar-benar menjadi baik perilakunya. Jika saat berhaji dilarang berkata kotor, tidak senonoh, berbuat fasik, dan berdosa, maka juga dilarang berbantah-bantahan. Salah satu penyebab terjadinya perselisihan dan permusuhan adalah lisan yang tidak terjaga, sehingga harus dijaga dengan benar-benar agar haji seseorang diterima.

Saat menunaikan ibadah haji, jemaah menjalani berbagai tahapan yang penuh tantangan dan pengorbanan. Tahapan demi tahapan telah dilewati, mulai dari antrian nomor porsi yang bisa mencapai belasan tahun, hingga persiapan dan pembekalan diri. Kemudian, ada perjalanan mulai dari wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, hingga melontar jumrah di Mina. Setiap tahapan ini mengandung pelajaran yang mendalam tentang kesabaran, ketulusan, dan pengorbanan.

Misalnya, wukuf di Arafah yang merupakan puncak ibadah haji, bukan hanya sekadar berdiri dan berdoa, tetapi juga merupakan momen refleksi diri yang mendalam, saat jemaah merenungkan dosa-dosa mereka dan bertekad untuk memperbaiki diri. Di Arafah, jemaah diajak untuk merenungkan hidup mereka, memohon ampunan, dan memperbarui komitmen untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Dalam kesunyian padang Arafah, setiap jemaah menyadari betapa kecilnya diri di hadapan kebesaran Allah. Momen ini menjadi titik balik penting dalam hidup setiap jemaah, di mana mereka bertekad untuk meninggalkan keburukan dan memulai lembaran baru yang lebih baik.

Selain itu, larangan-larangan selama ibadah haji, seperti tidak boleh berkata kotor, tidak boleh berdebat, dan harus menjaga perilaku, mengajarkan jemaah untuk mengendalikan diri dan menjaga lisan serta perbuatan. Larangan-larangan ini melatih jemaah untuk menjadi lebih sabar, lebih pengertian, dan lebih bijaksana dalam menghadapi berbagai situasi. Dengan menjaga lisan dan perilaku, jemaah belajar untuk hidup dalam harmoni dan kedamaian, yang pada akhirnya membawa mereka menuju kebaikan sejati.

Transformasi diri ini tidak hanya terjadi selama ibadah haji, tetapi juga diharapkan terus berlanjut setelah jemaah kembali ke tanah air. Nilai-nilai yang telah dipelajari selama ibadah haji, seperti kesabaran, ketulusan, dan pengorbanan, harus terus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, ibadah haji tidak hanya menjadi ritual tahunan, tetapi juga menjadi sarana untuk membentuk karakter dan moral umat Muslim menjadi lebih baik.

Haji juga mengajarkan tentang pentingnya kebersamaan dan solidaritas. Saat menjalani ibadah haji, jemaah dari berbagai latar belakang, suku, dan negara berkumpul menjadi satu, tanpa memandang status sosial. Semua mengenakan pakaian ihram yang sama, menghadap ke arah yang sama, dan menjalani ritual yang sama. Hal ini mengajarkan bahwa di hadapan Allah, semua manusia adalah sama. Kesederhanaan dan kebersamaan ini mengingatkan kita untuk selalu rendah hati dan menghargai sesama.

Dalam kesimpulannya, ibadah haji adalah perjalanan spiritual yang menawarkan peluang besar untuk transformasi diri menuju kebaikan sejati. Melalui serangkaian ritual yang penuh makna, haji mengajarkan dan membentuk karakter para jemaah menjadi lebih baik, lebih sabar, dan lebih bertakwa.

Nilai-nilai kesabaran, ketulusan, pengorbanan, kebersamaan, dan solidaritas yang dipelajari selama ibadah haji diharapkan terus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, membawa umat Muslim menuju kehidupan yang lebih baik dan lebih bermakna. Semoga setiap jemaah haji yang telah menunaikan ibadahnya dapat menjadi pribadi yang lebih baik dan membawa kebaikan bagi lingkungan sekitarnya. []

Shaifuddin Fuady, S.Ag., MA (Kepala KUA Lhoksukon dan Dewan Penasehat PC Pergunu Aceh Utara)

Widyawan Sigitmanto
Widyawan Sigitmanto Admin Simkah Web Id sejak dibuat sampai sekarang ;)
Sawer Admin via : Saweria