Abu Rokhmad (Staf Ahli Menteri Agama/ Plt. Dirjen Pendis Kemenag RI)
Hasanauddin Ali (selanjutnya disebut Cak Hasan), peneliti dan statistisi kenamaan tanah air, menulis artikel sangat menarik, UIN: Beyond Islamic University. Sebagai seorang yang bukan alumni UIN alias outsider, perhatiannya pada PTKIN ini luar biasa, pandangannya sangat obyektif dan layak dipertimbangkan dan tindaklanjuti oleh pengambil kebijakan (policy maker) dan para rektor. Tentu saja harus dengan pertimbangan matang.
Ia gelisah tentang kampus-kampus UIN yang dipandang belum menjadi destinasi utama universitas tanah air pilihan mahasiswa baru. Huruf I—kepanjangannya Islam—yang ada di antara huruf U dan N dianggap menjadi ‘beban’ sehingga menyulitkan UIN untuk tumbuh lebih cepat dan terlalu eksklusif ‘seolah’ hanya kampus bagi mahasiswa muslim saja. Akibatnya, UIN tidak bisa terlepas dari bayang-bayang sebagai kampus STAIN/ IAIN yang hanya mengkaji ilmu-ilmu keislaman saja. Publik memiliki pemahaman yang kurang lebih sama.
Padahal, program studi (prodi) umum juga sudah dibuka dan dikaji di kampus-kampus di bawah Kemenag RI ini. Kedokteran, psikologi, gizi, sistem informasi, sains data dan statistik, arsitektur, ilmu lingkungan, biologi, matematika, fisika, kimia, dan prodi umum lainnya, sudah ada di PTKIN. Pendek kata, UIN sekarang telah memiliki prodi agama maupun prodi umum
Lalu, Cak hasan membandingkan dengan kampus swasta, meski dengan label agama tertentu, tetapi brand yang melekat di masyarakat bukanlah kampus dengan agama tertentu atau fokus kajiannya pada studi agama tertentu. Hal ini dipandang sebagai benefit yang dapat dikapitalisasi kampus agar lebih cepat maju dan setara dengan kampus unggul di Indonesia.
Cak Hasan juga membandingkan produk UIN dengan perusahaan yang memiliki distingsi dan diversifikasi produk yang luar biasa banyak, dari makanan, minuman hingga kebutuhan cuci dan kamar mandi. Hebatnya, selalu menjadi pilihan utama konsumen. Jika konsumen butuh menyikat gigi, ia fanatik dan akan menjadikan odol ‘merek itu’ sebagai pilihan utama, kecuali jika terpaksa saja.
Tranformasi yang Progresif
Cak Hasan menawarkan tiga solusi agar UIN memiliki citra baru (rebranding) dan diharapkan akan menjadikan UIN sebagai kampus unggulan, sejajar dengan UI, UGM, ITB, ITS dan seterusnya. Pertama, citra UIN harus lebih Islami dan tidak terjebak pada atribut dan symbol. Artinya, huruf I yang ada di antara U dan N ‘mungkin’ tidak perlu ada. Kedua, competitive advantage atau keunggulan kajian di antara kampus-kampus PTKIN harus jelas. Ketiga, target pasar UIN harus luas dan tidak hanya mengandalkan ceruk sekitar kampus dan wilayah tertentu saja.
Artikel Cak Hasan mendapat tanggapan rektor UIN Alauddin Makassar, Hamdan Juhannis, dalam artikelnya Menuju Transformasi 2.0? Tanggapan atas Tulisan Hasanuddin Ali. Hamdan Juhannis mewakili pandangan insider dan pelaku sejarah transformasi IAIN menjadi UIN.
Hamdan menyambut baik gagasan Cak Hasan dan menamainya sebagai ajakan menuju tranformasi UIN jilid 2.0. Sementara tranformasi IAIN menjadi UIN sebagai tranformasi jilid 1.0 yang baru menyentuh kelembagaan, belum menyentuh mindset akademik dan keunggulan lainnya.
Rektor UIN Makassar ini sebenarnya melakukan pembelaan bahwa UIN sekarang sudah on the track, meskipun dilakukan dengan hati-hati. Tinggal melakukan peningkatan kualitas yang massif, sistematis dan terstruktur. Meskipun rebranding bukanlah sekedar rename yaitu dengan menghilangkan huruf I atau N, berbagai upaya untuk meningkatkan nilai tawar UIN di depan publik patut dipertimbangkan.
Prof Hamdan pasti tahu, bahwa ada syarat mutlak yang harus diusung setiap IAIN yang akan bertranformasi menjadi UIN, yakni soal distingsi dan paradigma keilmuan. Secara normatif, semua UIN telah memiliki visi dan distingsinya sendiri. ia bukan hanya berbeda dengan UIN lain bahkan sangat berbeda dengan perguruan tinggi umum (PTU).
Dengan kata lain, kata pak rektor, kegelisahan Cak Hasan bukanlah diskusi sekarang saja. Dulu sudah pernah berdarah-darah didiskusikan. Saya juga menjadi saksi meski saksi pupuk bawah tentang perdebatan itu. Maklum, dosen yunior. Pada akhirnya, seperti yang dapat dilihat sekarang ini, UIN ada di mana-mana. Yang masih antri untuk ditetapkan menjadi universitas, juga menggunakan UIN.
Proyek yang ‘Tidak Boleh’ Selesai
Kegelisahan Cak Hasan mewakili kegundahan kita semua: stakeholder, pecinta, pegiat, khadim dan alumni pendidikan tinggi Islam. Setelah sekian puluh tahun, bahkan ada yang berusia lebih dari setengah abad, UIN ‘hanya’ begitu-begitu saja. UIN baru menjadi pilihan kedua atau ketiga setelah mahasiswa baru tidak diterima di kampus idaman.
Kritik Cak Hasan harus disambut dengan suka cita. Perhatiannya begitu tulus untuk memajukan UIN agar tumbuh lebih cepat, setara atau bahkan lebih maju dari perguruan tinggi umum. Rekomendasi nomor 2 dan 3 dapat langsung dieksekusi. Rekomendasi nomor 1 perlu pertimbangan matang dan kajian yang memadai.
Sebenarnya, tranformasi IAIN menjadi UIN sangat progresif dan cepat, melebihi kampus umum. Sebagai contoh, ada satu kampus PTKIN yang mulanya kampus cabang, lalu menjadi STAIN (1997) dan bertransformasi menjadi UIN (2004). Positioning dan paradigma ilmunya jelas. Semua civitas akademikanya wajib menguasai Bahasa Arab sebagai alat untuk menguasai kajian keislaman dan Bahasa Inggris untuk mengkaji ilmu umum.
Semua IAIN yang berubah menjadi UIN telah melalui proses rebranding yakni membuat image baru yang lebih baik. Dari logo, nomenklatur hingga paradigma ilmu. Dulu, semua PTKIN logonya sama seperti logo kementerian. Sekarang, lebih variatif meskipun masih kurang berani berimajinasi dengan logo yang lebih ‘liar’ dan futuristik. Soal nama sehingga memilih template UIN dan tidak menggunakan nama lain, juga sudah didiskusikan.
Secara sadar, the founding fathers UIN memang tidak ingin kehilangan image sebagai pusat kajian keislaman dan tetap mempertahankannya, lalu menambah program studi umum sebagaimana dimiliki oleh Perguruan Tinggi Umum (PTU). Lalu, dengan brand image yang baru (baru sekitar 10 tahunan), apakah sekarang, UIN-UIN besar telah menjadi destinasi kuliah pertama calon mahasiswa? Jawabannya sangat tergantung dari rasionalitas orang tua dan calon mahasiswa.
Kembali ke pertanyaan di atas, apakah UIN-UIN besar telah menjadi tujuan utama kuliah? Jawabannya beragam dan tergantung background orang tua dan mahasiswanya. Bila calon mahasiswa tersebut (apapun SMA-nya) memiliki prestasi yang istimewa, kampus UIN bukan pilihan. Kampus sebelahnya UIN, mungkin juga tidak. Mungkin, dia akan memilih kuliah ke luar kota, Jakarta, Bandung, Bogor atau Yogyakarta, bahkan luar negeri. Apalagi kalau keluarganya mampu membiayai.
Kita sekarang memiliki banyak cerita soal alumni MAN IC, yang mampu melanjutkan kuliahnya ke mana-mana. Dan harus diakui, tidak banyak yang ke UIN. Dari segmen masyarakat mana calon mahasiswa itu berasal? Dan background pendidikannya apa? alumni Aliyah dan pesantren atau bukan? Mengapa pilihannya prodi agama atau umum? Dan banyak lagi faktor lain yang sangat mempengaruhi pilihan kuliah masing-masing orang. Jika ada pilihan dan mampu memilih, calon mahasiswa baru pasti akan memilih kampus yang diminati dan unggul. Tetapi, saya yakin, memilih tempat kuliah bukan seperti memilih odol atau sabun mandi.
Ijtihad Memajukan UIN
Secara historis, pendirian IAIN yang belakangan menjadi UIN, tidak lepas dari cita-cita ingin menjadikannya sebagai tempat kajian ilmu keislaman yang modern, sekaligus untuk memenuhi kebutuhan birokrasi pemerintah yang menyelenggarakan urusan di bidang agama. Sejak awal, positioningnya berbeda dengan pesantren.
Hal ini tidak mungkin dihindari. Setelah menjadi UIN, kajian ilmu umum menjadi menu yang ditawarkan. Sudah banyak kekhawatiran, kajian ilmu agama akan meredup setelah IAIN berubah menjadi UIN. Di sisi lain, pesantren sekarang memiliki Ma’had Ali (program sarjana) strata 1, 2 dan 3 yang murni mengajarkan ilmu keislaman.
Saran Cak Hasan untuk merebranding UIN agar lepas dari bayang-bayang sebagai pusat studi Islam yang menyebabkan UIN eksklusif dan sekaligus memiliki image baru sebagai pusat kajian ilmu umum yang inklusif dan syukur-syukur mampu bersaing dengan kampus umum, memang patut dipertimbangkan.
Tawaran itu memang menyisakan kekhawatiran. Jangan-jangan, setelah dilakukan rebranding, ternyata prodi umum yang ditawarkan tetap saja kalah bersaing dengan kampus umum yang sejak awal pendiriannya memang hanya untuk itu, sementara studi Islam sudah hilang dari nafas UIN. Lebih-lebih setelah ada Ma’had Ali, yang memang fokus tafaqquh fi al-din.
Jika mungkin, kenapa UIN tidak meraih keduanya? Studi Islam dikembangkan, studi ilmu umum dimajukan. Rebranding, semestinya, bukan dimaksudkan untuk mengecilkan apalagi menghilangkan kajian Islam. Kajian keislaman, semestinya, bukan menjadi ‘beban’ bagi UIN untuk maju dan setara dengan kampus umumnya lainnya.
Rebranding bukan barang tabu dan layak untuk dipertimbangkan. Yang dibutuhkan sekarang adalah kajian yang komprehensif agar sesuai dengan harapan. Rebranding memang tidak sekedar rename. Rebranding terbaik untuk UIN adalah dengan meningkatkan integritas, kualitas dan reputasi akademiknya agar makin mapan dan diakui oleh publik.
Makin banyak alumni UIN yang bekerja di berbagai instasi dan perusahaan di luar Kemenag RI, hal itu sangat baik bagi UIN. Peluang itu tinggal menunggu waktu, setelah UIN membuka prodi umum.
Jika rebranding merupakan salah satu ikhtiar untuk meningkatkan positioning UIN, kenapa tidak dicoba? Paling tidak untuk UIN yang merasa perlu branding baru agar lebih menarik, kompetitif dan mampu menyedot animo calon mahasiswa baru.
UIN masih akan terus tumbuh dan berkembang. Dengan distingsi dan paradigma ilmu yang ada, kita berharap UIN makin memiliki positioning yang mantap di mata publik. Alumninya diharapkan merupakan saintis yang mengerti agama, dan sekaligus agamawan yang paham sains. Kita punya tugas besar untuk mewujudkan rekomendasi yang disarankan oleh Hasanuddin Ali.
Abu Rokhmad (Staf Ahli Menteri Agama/ Plt. Dirjen Pendis Kemenag RI)
Posting Komentar
Komentar Anda akan difilter oleh admin sebelum ditayangkan.